MATARAM, mataramnews.co — Kasus kekerasan yang menimpa wartawan LKBN Antara Biro Mataram, menambah daftar kasus serupa dialami jurnalis, termasuk di NTB. Dimas Pratama (27), Jumat (3/7) lalu menjadi korban penganiayaan oknum Satpam Universitas Mataram (Unram).
Atas kejadian itu, korban tidak hanya mengalami luka memar, tapi gagal meliput kejadian kebakaran di wilayah Cakranegara, Kota Mataram. Dengan kejadian ini, harus menjadi pelajaran penting bagi pihak kampus Unram, agar tidak mempekerjakan petugas keamanan yang arogan, khususnya kepada pelaku yang diketahui bernama Dedi.
“Kami menuntut rektor memecat oknum Satpam yang arogan itu”. Sebab dengan tetap mempekerjakan petugas keamanan arogan, rawan memicu kekerasan berlanjut, tidak hanya menimpa wartawan, bisa jadi mahasiswa atau masyarakat umum lainnya. “Jika tetap mempekerjakan Satpam arogan, ini justru akan merusak citra Unram sebagai kampus negeri”.
Selain itu, atas kejadian yang menimpa korban Dimas Pratama, AJI meminta pihak rektor mengklarifikasi langsung ke pelaku. Jika ditemukan bukti adanya penganiayaan, maka pelaku harus dipecat.
Selain meminta rektor memecat pelaku, AJI Juga mendorong kepolisian memproses kasus ini, sebab masuk kategori pidana penganiayaan. Korban pun sudah melaporkan kejadian ini ke Polres Mataram. “Kami akan terus dorong proses hukum di kepolisian, sampai pelaku diperiksa dan ditetapkan sebagai tersangka”.
Dengan hasil proses hukum ini, AJI juga menuntut dijadikan dasar rektor untuk memproses oknum satpam itu.
Masih terkait kejadian ini, pihak Unram, umumnya kepada masyarakat agar memahami bahwa wartawan juga dilindungi Undang Undang Nomor 40 tahun 1999. Terhadap pelaku yang menghalang halangi tugas pers bisa terancam pidana. Pasal 18 Ayat 1 UU Pers No.40/1999 dijelaskan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan kemerdekaan pers dalam mencari, memperoleh, & menyampaikan gagasan dan informasi, terkena sanksi ancaman pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda maksimal Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)”
Laporan : Joko
Edtor : Guswan Putra
Tidak ada komentar