MATARAM, MATARAMNEW.co.id — Penentuan pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) oleh partai politik (parpol) dianggap tidak demokratis. Pasalnya, hanya dilakukan oleh pengurus parpol tanpa melibatkan anggotanya.
“Pasangan calon kepala daerah dari parpol, dulunya dilakaukan uji publik terlebih dahulu, akan tetapi sekarang pengurus partai yang melakukannya”, kata Prof Ramlan Surbakti, narasumber dari Kemitraan–partnership, dalam Konsultasi Publik “Kodifikasi Undang-Undang Pemilu, Untuk Mewujudkan Pemilu yang Berintegritas, Efektif dan Efisien”, bersama para akademisi, penyelenggara pemilu, partai politik dan media massa, di Fakultas Hukum Universitas Mataram, Sabtu (13/6/2015).
Menurut Prof Ramlan Surbakti, anggota parpol kehilangan sebuah hak politik. Misalkan, kata dia, telah diatur jika si A keturunan dari petahana (incumbent, red) yang ikut maju di pilkada, maka tidak boleh petahana tersebut menyalonkan diri. “Ini melanggar hak azasi manusia, karena hanya si A dari keturunan petahana ataupun istri dan keluarganya”, katanya.
Dikatakan, harus ada persaingan yang bebas dan adil. Partai itu mestinya menyiapkan lebih dari satu calon dan memberikan mereka bersaing. Persaingan itu juga harus ada rapat anggota di tingkat desa atau keluruhan.
Disebutkan dalam RUU, lanjut dia, sumbangan dari luar atau pihak asing tidak merupakan suatu pelanggaran. Misalnya, kata dia, bukan calon bersangkutan yang membuka rekening namun atas usulan dari parpol. “Kami melihat persiapan pilkada serentak saat ini kedodoran dari segi peraturan perundang-undangan”, ungkapnya.
“Saya perkirakan hasil pilkada nanti tidak akan mampu menciptakan pemerintah daerah yang efektif. Karena pasangan terpilih tidak perlu pasangan calon memiliki suara mencapai 30 persen, yang penting suara lebih banyak dari pasangan calon lain. Selain itu, kepemimpinan politik dilakukan dengan kepemimpinan transaksional”, katanya.
Terkait calon perseorangan (jalur independen, red), menurut Prof Ramlan Surbakti, yang terpilih bisa dipastikan cuma segelintir calon. “Kalau calon dari partai yang terpilih, maka kita bisa melihat dari kinerjanya, di satu sisi mereka ada kekuatan di dewan”, katanya
Dia berharap jika yang terpilih menjadi kepala daerah dari calon perseorangan mampu memiliki kepemimpinan, bukan karena kepemimpinan politik uang. Bisa mengajak dukungan dari rakyat.
“Berdasarkan berbagai pemikiran kami dari Kemitraan, menyatakan sikap yaitu pertama mendesak DPR melalui Badan Legislasi memasukkan Kodifikasi UU Pemilu dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) perioritas 2016. Kedua, mendesak DPR dan pemerintah untuk membahas Kodifikasi Hukum Pemilu pada 2016 dan disahkan selambat-lambatnya pada awal 2017”, imbuhnya.
Sementara itu, dalam kegiatan tersebut selain Prof Ramlan Surbakti, pembicara lainnya juga hadir, seperti Fery Amsari dan Khairul Fahmi dari Universitas Andalas serta Hadi Shubhan dari Universitas Airlangga. Selain itu, hadir juga Ketua Bawaslu NTB, M Khuwailid, anggota KPU NTB Suhardi Soud, anggota KPU Lobar, Umar Ahmad Seth, Dekan FH Unram, Prof Dr L Husni SH MHum serta para akademisi Fakultas Hukum Unram dan perwakilan mahasiswa.
laporan : Azami
Editor : Guswan Putra
Tidak ada komentar