MATARAM – Forum Pemberdayaan Kreatifitas dan Keilmuan Justitia (Forjust) Fakultas Hukum Unram melakukan kegiatan mimbar aktivis refleksi akhir tahun dengan tema “konsolidasi demokrasi; matinya demokrasi di Kampus” yang dihadiri oleh sejumlah aktivis mahasiswa se kota mataram seperti, LMND, HMI, PMII dan FMN serta mahasiswa Fisipol FKIP UMM Mataram.
Kegiatan tersebut menghadirkan pembicara, Dekan FH Unram, Prof Dr H Galang Asmara SH M Hum, Dosen FH Unram, M Nasir SH MH, Dekan FKIP UMM, Safril MPd, ketua DPD KNPI NTB, Sulhan Muchlis SE.
Ketua Forjust, Oke Wira Dharma menjelaskan, acara mimbar aktivis tersebut diharapkan dapat menambah ilmu dalam tatanan berdemokrasi bagi para mahasiswa, baik di internal maupun eksternal kampus, khususnya mahasiswa yang ada di kota Mataram.
Prof Dr H Galang Asmara dalam sambutannya sekaligus membuka acara menyampaikan, demokrasi di Indonesia dewasa ini bukan lagi menjalankan sistem demokrasi terpimpin, melainkan demokrasi mengikuti kemauan rakyat, lebih-lebih sistem demokrasi di dalam kampus tidak jalan sama sekali, karena banyaknya intervensi dari pihak kampus terhadap pergerakan aktivis mahasiswa.
“Perguruan Tinggi hendaknya memberikan kebebasan kepada mahasiswa dalam berekspresi dan berpendapat, jangan mahasiswa justru diintimidasi dan dikekang sehingga demokrasi di internal kampus hidup kembali,” imbuhnya.
Menurutnya, demokrasi negara yang berasaskan pancasila adalah demokrasi kedaulatan rakyat yang artinya sistim demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, namun kenyataannya demokrasi dewasa ini cenderung sarat dengan kepentingan penguasa dan elit-elit politik. “Contohnya di KPU banyak kasus yang terjadi akibat tindakan KPU yang tidak sesuai dengan aturan dan mekanisme kerja yang ditetapkan, seperti terjadinya markup suara,” katanya.
Sedangkan Dosen FKIP UMM, Syafril MPd mengatakan, demokrasi adalah proses dimana rezim-rezim otoriter beralih menjadi rezim-rezim demokratis, transisi menuju demokrasi baru benar-benar dimulai jika pemimpin otoriter tidak lagi mampu kendalikan perkembangan politik domestik dan terpaksa melepaskan dominasinya.
“Kampus sebagai pendidikan tinggi selalu dinilai sebagai lumbung pengetahuan segala disiplin ilmu, termasuk ilmu politik dan demokrasi, keberadaan dosen atau pejabat di suatu perguruan tinggi dijadikan sebagai orang yang serba tahu dan tidak memiliki kekurangan”, terangnya.
Lanjut Syafril, mahasiswa saat ini adalah tipe mahasiswa yang apatis dan tidak kompak, sehingga pergerakan aktivis mahasiswa di intervensi banyak pihak, baik di internal ataupun eksternal kampus. Kampus tidak jauh beda dengan negara, dikatakan demikian karena kampus diberi otonomi untuk kelola sendiri nilai-nilai yang ada didalamnya, namun terkadang perguruan tinggi tidak berani keluar dari intervensi pemerintah, matinya demokrasi kampus berdampak pada sulitnya kampus menjadi power of control bagi negara.
” kampus tidak hanya cetak sarjana dengan IPK tinggi, tapi juga harus mampu cetak sarjana yg memiliki idealisme tinggi, integritas baik dan profesional serta kritis”, imbuhnya.
Sementara Ketua DPD KNPI NTB, Sulham Muchlis menyampaikan bahwa faktor demokrasi di kampus saat ini mati, justru membiarkan intervensi peraturan pemerintah yang diikuti, sistim pendidikan terlau diukur dengan angka, hal ini karena kebanyakan mahasiswa ingin cepat kerja dan ingin cepat duduk enak di belakang meja, “contoh di KLU dari 4000 lebih yang melamar jadi PNS sementara alokasi yang diterima hanya 150 orang, seharusnya mahasiswa bangun network dan karakter sosial sehingga punya jaringan yang luas dan tamat dari kuliah tidak mengandalkan hanya jadi pegawai negeri, ini adalah pola-pola lama yang harus dihilangkan”, terangnya.
M Nasir SH MH mengingatkan kepada mahasiswa dalam berdemokrasi jangan lupa dasar negara Pancasila dengan mengedepankan kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan politik. “Tidak usah memilih jika figur-figur yang mencalonkan dirinya tidak bervisi kerakyatan dan mengedepankan kepentingan pribadi atau golongan,” tegasnya. (Imam)
Tidak ada komentar