MATARAM – Front Perjuangan Rakyat (FPR) tuntut pemerintah hapus sistem kerja outsourching. Tuntutan ini diungkapkan dalam aksi mimbar bebas yang dilakukannya di trafficlight BI, pada Sabtu 3 Mei 2014.
Aksi yang dilakukan dalam rangka memperingati Hari Buruh Sedunia sekaligus Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) oleh FPR meminta menuntut untuk menghentikan liberisasi privatisasi dan komersialisasi pendidikan, wujudkan pendiddikan yang ilmiah, demoktatis dan mengabdi kepada rakyat, berikan kebebasan berekpresi serta hentikan perampasan upah, tanah dan kerja.
Humas FPR, Tony mengatakan, kedudukan buruh hingga hari ini haknya terus di rampas dan di peras tenaganya dengan memperpanjang sistem jam kerja, namun upahnya terus di pangkas oleh perusahaan belum lagi persoalan sistem kerja kontrak (outsourching), dimana persoalan ini dari dulu terus di perjuangkan untuk dihapus.
Di sektor pendidikan, mereka meminta penghapusan UUPT No. 12 Tahun 2012 dan menghapus sistem pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT), karena mahasiswa selalu di kualifikasi dalam pembayaran berdasarkan pendapatan orang tua. Mereka memandang, ini tidak obyektif karena sesungguhnya miskin dan kaya punya hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. “Jika kita menulis pendapatan orang tua Rp 500 ribu itu cenderung dan kemungkinan mengakses ke perguruan tinggi itu susah”, ujarnya.
Biaya pendidikan yang terus naik, lanjutnya, namun kualitas pendidikan, baik di sekolah maupun di kampus, justru tidak berimbang dengan biaya yang di keluarkan. “Kalau pemerintah menganalogikan pendidikan seperti pasar beli nasi seharga seribu yang kita dapatkan nasi yang harga seribu, namun pada kenyataanya kita bayar jutaan yang kita dapatkan jauh dari harapan termasuk kualitas dosen dan banyak dosen-dosen yang tidak ada di kampus serta tidak ekspan dengan bidangnya, hal inilaha yang dirasakan oleh mahasiswa dan pelajar saat ini,” bebernya.
Ada tiga hal menurutnya menjadi tawaran, pertama, bagaimana mengilmiahkan pendidikan artinya pendidikan harus sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia sebagian besar petani, pendidikannya pun seharusnya bagaimana meningkatkan pertanian. Kedua, pendidikan harus demokratis, dimana dunia pendidikan harus legowo menerima kritikan dari mahasiswa untuk memperbaiki kembali dunia pendidikan. Dan ketiga, dunia pendidikan harus bisa di akses oleh seluruh elemen mayarakat baik itu miskin dan kaya harus mempunyai hak yang sama memperoleh pendidikan.
[Imam]
Tidak ada komentar