MATARAM – Kepala Desa (Kades) Batu Kumbung, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, Sanudi diganjar hukuman tiga tahun penjara karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Mataram, Senin (8/4/13) siang.
Majelis hakim yang diketuai Jon Sarman Saragih, dengan hakim anggota, hakim adhoc Edwar Samosir dan M.Idris M.Amin memutuskan, Sanudi secara sah dan meyakinkan bersalah menggelapkan uang karena jabatannya sebagai kepala desa.
Sanudi dinyatakan melanggar Pasal 8 UU Nomor 20 tahun 2001 atas perubahan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Junto Pasal 64 ayat 1 KUHP sebagai dakwaan subsider.
Selain diganjar hukuman badan tiga tahun penjara, Sanudi yang juga bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Badan Koordinasi Penyuluhan Koordinasi Kelautan, Kehutanan dan Pertanian NTB, juga didenda Rp 150 juta subsider dua bulan kurungan.
Vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dimana sebelumnya, JPU Yustika SH menuntut empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta.
Dalam kasus ini Sanudi telah menggelapkan dan tidak bisa mempertanggung jawabkan uang sebesar Rp 114 juta dari total uang yang terkumpul dari masyarakat sebesar Rp 178,7 juta. Uang itu merupakan bagian dari uang yang dipungutnya dari masyarakat dalam kegitan proyek sertifikasi tanah nasional (prona) dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang semestinya Rp 0. Dana ini ditanggung APBN, dan 2011 lalu Kanwil BPN NTB mendapatkan anggarn Rp 10,4 miliar. Sementara khusus di Lobar mendapat Rp 1,1 miliar untuk 2.000 bidang tanah.
Dimana Tahun 2011 lalu, di Desa Batu Kumbung mendapat jatah pensertifikatan lahan 164 bidang. Sebanyak 50 bidang pada tahap pertama dan 114 bidang di tahap kedua. Namun oleh terdakwa saat itu memungut biaya dari masyarakat dengan besaran mulai Rp 800 ribu hingga Rp 4 juta. Kemudian Sanusi membuat rumusan sendiri soal besaran nilai uang yang dipungut dari masyarakat dengan tulis tangan disebuh kertas saat rapat dengan para kepala dusun (kadus).
Diuraikan majelis hakim sesuai pengakuan terdakwa dan kesaksian saksi di persidangan, dari total uang Rp 178 juta yang terkumpul dari warga, Rp 32,5 juta digunakan terdakwa untuk membayar 65 Akta Notaris. Seperti akta jual beli, hibah sebagai alas hak dari tanah yang akan disertifikatkan karena banyak warga belum memiliki alas hak atas tanah mereka.
Kemudian Rp 17 juta untuk pengeluaran dalam kegiatan prona selama 14 hari. Namun sisanya Rp 114 juta tidak bisa dipertanggung jawabkan terkait vonis tersebut, Penasehat hukum terdakwam, Azhabudin mengatakan Rp 114 juta yang dinilai hakim tidak bisa dipertanggung jawabkan itu tidak dinikmati kliennya. Melainkan menjadi bagian dari pengeluaran operasional untuk mensukseskan atau mendukung percepatan prona selama 14 hari itu.
‘’Uang itu untuk honor tim, makan minum, operasional dan lainnya. Kalau tidak, tidak mungkin bisa selesai 14 hari. Dan untuk upaya hukum, kami masih pikir-pikir,” katanya.
Sedangkan JPU Yustika mengatakan, masih pikir-pikir menanggapi vonis majelis hakim yang lebih rendah dari tuntutannya.
(Joko)
Tidak ada komentar