x

Konsep Politik Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid

waktu baca 4 menit
Jumat, 2 Mei 2014 15:06 0 29 Redaksi

ISLAM pada sejarahnya tidak bisa dipungkiri bahwasanya pertumbuhannya bersamaan dengan perkembangan sistem politik. Konteks hijriahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Yatsrib (Madinah)  menggambarkan diri terkait perpolitikan. Menurut Arkoun yang dikutip Nurcholish Madjid menyatakan bahwa ekperimen madinah menyajikan kepada umat manusia sebagai contoh tatanan sosial-politik yang tidak serta merta sebuah kekuasaan dipegang oleh satu orang saja melainkan oleh banyak orang melalui musyawarah yang dibuktikan dengan Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah).

Sejalan dengan hal itu John L. Esposito dalam bukunya (Islam Dan Politik) mengatakan, Islam tidak sekedar masyarakat kerohanian tetapi juga merupakan sebuah agama, sebuah emperium. Islam berkembang sebagai gerakan keagamaan dan politik yang didalamnya agama menyatu terhadap negara dan masyarakat yang bersumber dari wahyu yaitu Qur’an dan Sunnah yang tercermin dalam ajaran dan sejarah politiknya.

Dalam konteks keindonesiaan, Islam berkembang sebagai gerakan keagamaan dan politik yang didalamnya menyatu agama terhadap negara dan masyarakat. keterhubungan antara Agama dengan Negara dalam Islam selalu terjadi dalam suasana stigmatik. Suasana ini tidak mengherankan bagi Islam Indonesia yang antara idiologi Negara dengan Gerakan-gerakan Islam saling gesek.

Retorika politik tersebut dikemukakan bersamaan dengan tindakan-tindakan berganda untuk melemahkan gerakan-gerakan keagaman tersebut. Di satu pihak gerakan keagamaan  “dijinakkan” dalam bantuan negara dengan jumlah yang sangat besar untuk peribadatan dan ritual. Sedang dipihak lain didukung upaya untuk memojokkan gerakan-gerakan keagamaan yang memiliki aspirasi politik yang berwatak korektif terhadap politik pemerintah.

Bergambar dari konteks sejarahnya diatas dalam konsep politik yang TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid bangun tidak terlepas dari bagaimana pengaruh pendidikanya di madrasah Shaulatiyah. Teori-teori politiknya banyak terpengaruh oleh materi pelajaran Tarikh al-Islam yang di ajarkan lansung di ajarkan oleh Syeikh Salim Rahmatullah khususnya materi Siyasah Al-Syar’iyyah itulah yang menjadi dasar pemikiran politiknya untuk memandang perpolitikan konteks keindonesiaan baik diera kolonial maupun sesudah kemerdekaan.

TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid, dalam politiknya sejalan dengan konsep teologi Sunni Indonesia yang pandangannya berorentasi pada status quo dan melarang memberontak kepada kekuasaan, betapapun zalimnya kekuasanya itu, sekalipun mengeritik dan mengecam kekuasaan yang zalim adalah kewajiban, sejalan dengan perintah allah untuk melakukan amal ma’ruf nahi mingkar. Diperjelas juga oleh Jalaludin Rahmat yang mengutip Asy-Syhrastani yang megatakan Sunni dalam menetapkan pemimpin melalui kesepakatan (al-ittifaq) dan pemilihan (al-iktiar)

Melihat hal itu penulis berasumsi bahawa tawaran pembaharuan Islam TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid untuk Islam Indonesia adalah bentuk Negara.Menurutnya Indonesia adalah sebuah Negara dalam konsepnya sendiri. Dan Islam adalah sebuah nilai atau sistem yang menjadi stir dari  kenegaraanya, yang oleh Muhammad Noor menyebutnya sebagai kebangsaan religius. Sehingga bukan negara Islam yang dibagun tetapi Islam sebagai instrumen dari negara. Sebaliknya negara sebagai instrumen dalam menyampaikan misi kenabian.  Sehingga negara memerlukan negara, karana dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya negara juga memerlukan negara, karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spritual.

Bentuk dari korelasi negara dengan agama (Islam) adalah pembentukan keorganisasian Nahdlatul Wathan yang didirikannya oleh TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid pada tahun 1953. Nama tersebut merupakan kelanjutan dari madrasah yang ia dirikan yaitu Madrasah Nahdlatul Wathan Diniah Islamiyah pada tahun 1937.

Berdasarkan makna terminologi dan filosofis, Nahdlatul-(Kebangkitan) Wathan-(Tanah Air) dapat menjadi pijakan bahwa relasi agama dan negara dalam konteks ini bersifat integral dan simbiosis mutualisme. Nahdalatul Wathan secara embrional dari Madrasah Nahdlatul Wathan Diniah Islamiyah dalam suasana sosial-historitas yang heroik. Heroisme dalam agama yakni adanya upaya-upaya untuk memeperbaiki nilai-nilai maupun budaya dan praktik masyarakat Islam sedangkan heroisme dalam negara adalah upaya pembebasan masyarakat dari kebodohan. Melihat hal itu, pada sejarahnya TGH. M. Zaunuddin Abdul Madjid memberikan sumbangsih ataupun suatu cohtoh bahwa antara agama dan negara mempunyai korelasi yang signifikan. Melalui perjuangannya mengusir penjajah (NICA) bahkan adiknya gugur dalam pertempuran ini untuk memperjuangkan kemerdekaan.  TGH. M. Zaunuddin Abdul Madjid pernah menjadi anggota konstituante (1955-1959) anggota MPR RI (1971-1977), Pengurus Majlis Ulama Indonesia Provinsi NTB (1975-1977) dan Dewan Pertimbangan Kesehatan dan Syara Propinsi NTB.

Cita-cita politik TGH. M. Zaunuddin Abdul Madjid adalah tercapainya negara Indonesia merdeka. Seluruh masyarakat Indonesia dalam pandangannya adalah satu bangsa. Bahwa bangsa Indonesia itu ada dan mereka harus menentukan nasibnya sendiri. Penyataan itu adalah respon terhadap penjajahan yang telah mengukung kemerdekan dan kebebasan nasionalisme masyarakat Indonesia itu sendiri. Respon TGH. M. Zaunuddin Abdul Madjid yang tajam bahwa bangsa Indonesia itu ada, merupakan ide nasionaisme dalam expresi baru. Orientasi dari ide nasionalisme ini bukan negara Islam, tetapi bersifat territorial. Maksud dan tujuannya adalah melawan kekuatan asing, khususnya penjajahan. TGH. M. Zaunuddin Abdul Madjid memperjuangkan nasionalisme agamis

Hal ini mengindikasikan bahwa TGH. Zainuddin Abdul Madjid memberikan kedudukan agama dengan negara pada posisi yang sama kekuasaan negara harus di batasi oleh konstitusi. Pemerintah wajib bersikap adil terhadap rakyat. Sebaliknya terhadap pemerintah yang adil rakyat harus patuh dan setia. Yang artinya bahwa TGH. Zainuddin Abdul Madjid menghendaki kehidupan politik yang demokratis yang di dasarkan atas musyawarah dan moral yang islami.

[Irawan : Mahasiswa Filsafat, sekaligus ketua GEMA NW Yogyakarta]

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA
    x
    x