x

MICRA Fokus Membangun Kapasitas Sumberdaya Petani di NTB

waktu baca 4 menit
Jumat, 6 Jun 2014 07:05 0 16 Redaksi

Dean Novel : Syngenta, mitra MICRA paling akrab saat ini

MATARAM – Peran MICRA Indonesia sejak mulai melakukan pembinaan kepada petani, terutama petani jagung di pulau Lombok, mampu menunjukkan angka peningkatan yang signifikan. Konsep pembinaannya fokus kepada ‘capacity building’ alias pembangunan kapasitas sumberdaya manusia (SDM) petani.

“MICRA Indonesia adalah sebuah NGO, LSM Internasional yang melakukan pembinaan terhadap petani, saat ini sedang menggarap program pembinaan terhadap petani jagung khususnya di pulau Lombok”, kata Dean Novel, kepada mataramnews.com, ketika mewakili MICRA Indonesia pada acara pelatihan dan pengembangan budidaya jagung hibrida kepada petani jagung se-NTB yang digelar Syngenta, kemarin.

Menurut Dean Novel, kemitraan MICRA dengan produsen Syngenta dalam melakukan pembinaan kepada petani, alasannya yaitu, saat ini produsen saprodi yang paling akrab sekali dengan MICRA adalah Syngenta, karena memiliki produk lengkap dalam bentuk paket. Sehingga dalam memberikan penyuluhan kepada petani mudah dan gampang. “Kami tidak jualan produk, tetapi kami hanya melakukan penyuluhan lebih ke tehnik budidayanya kepada petani”, tegasnya.

Dicontohkan Dean Novel, sukses story pada musim kemarau pertama (MK 1) kemarin, untuk petani binaannya di Sekaroh Lombok Timur. Sebelumnya, petani hanya mampu panen menghasilkan produksi jagung 5-7 kuintal per hektar, setelah melakukan pembinaan pada MK 1 kemarin, hasil panen jagung petani meningkat tajam 7-9 ton per hektar. “Kebetulan menggunakan produk saprodi yang dimiliki mitra kami Syngenta”, katanya.

Kemitraan MICRA dengan Syngenta saat ini, lanjut Dean Novel, hanya sebatas kemitraan produsen saprodi, tidak ada afiliasi alias berdiri sendiri, tetapi ketika tim MICRA melakukan penyuluhan seringkali muncul pertanyaan dari petani “apa yang baik dan bagus kami gunakan pak?”, kata Dean Novel meniru pertanyaan petani. Sehingga MICRA harus menyampaikan ke petani yang benar dan mereferensikan produk saprodi yang bagus berdasarkan pengalaman MICRA terhadap produk saprodi yang bagus digunakan untuk penanaman jagung di beberapa wilayah di Indonesia.

“Walaupun kami tidak dapat komisi dari produsen, tetapi kami harus menyampaikan kepada petani yang benar sesuai dengan pengalaman keberhasilan MICRA”, katanya. Dan jika petani mau menggunakan produk saprodi yang direferensikan MICRA, lanjut Dean, tanah lahan petani terlebih dahulu harus di uji lab. “Semua lahan petani binaan MICRA memiliki hasil uji lab”, tegasnya. Dan kebetulan saat ini sedang melakukan pembinaan di Lombok, pengujian tanah lahan petani dilakukan di laboratorium Universitas Mataram (Unram).

Karena, menurutnya, uji lab tanah lahan milik petani binaan penting untuk mengetahui kualitas tanah, sebagai dasar untuk perhitungan dosis pemakaian produk saprodi yang akan digunakan petani binaan MICRA.

Sedangkan proyek pembinaan petani jagung di pulau Lombok oleh MICRA, baru masuk 9 bulan dari durasi program kemitraan selama 18 bulan. Saat ini, sisa durasi waktu masih bisa masuk musim kemarau dua (MK 2) dan musim hujan (MH). “Rencananya ujung dari proyek ini akan diadakan kontes”, ujarnya. Dengan petani  binaan MICRA saat ini berjumlah 7 kelompok tani dengan total anggota petani sebanyak 600 orang, dan total luas lahan petani di pulau Lombok seluas 200 hektar.

“Setiap kelompok tani binaan MICRA, memiliki data primer yang bisa dipertanggungjawabkan, karena itu, dibentuk kuisioner-kuisioner mulai dari teknologi mereka menanam jagung, kemudian kuisioner tentang kesejahteraan hingga terakhir kemarin dibentuk tentang kuisioner hasil panen”, katanya.

Sementara, untuk personal MICRA sendiri, dalam melakukan penyuluhan ke petani di pulau Lombok saat ini, menurut Dean, menggunakan tenaga tim teknis berasal dari lokal yang berjumlah 6 orang, terdiri dari 2 supervisor, dibawahnya masing-masing memiliki  2 agronomis.

“Tim ini yang biayai kami sendiri, tugas mereka melakukan penyuluhan ke kelompok-kelompok tani mulai perencanaan dari cara menghitung. Prinsipnya, kita harus hitung ekonominya dulu, kalau untung dikerjakan petani dan kalau tidak jangan dikerjakan”, katanya.

Diakui Dean, selama sembilan bulan aktif di Lombok, tim MICRA bekerja melakukan penyuluhan tatap muka dengan petani binaannya hampir setiap saat ketika petani membutuhkan. “Alhmadulilah sudah bisa dirasakan manfaatnya”, ujar Dean. Sebenarnya, kata Dean, petani hanya membutuhkan teman curhat, sedangkan persoalan dana untuk modal tanam dan pengolahan lahan bagi petani relatif punya modal sendiri.

Terkait program kerja MICRA sebagai ‘non government organitation’ alias lembaga swadaya dalam melakukan pembinaan petani dimata pemerintah, diakuinya tidak ada kata lain selain didukung. Bahkan dukungan itu mendapat apresiasi oleh pemerintah daerah bahkan kepala daerah.

Dikatakan Dean, beda antara Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) pemerintah dengan PPL swadaya dari MICRA, lebih mudah, gampang dan cepat ditemui petani. “Lawan PPL saya kalah kok, bukan soal tekniknya, tetapi masalahnya PPL kami gampang dihubungi, gampang ditemui dan cepat datang jika dibutuhkan petani”, katanya.

Menurutnya, kalau soal teknik bisa nomor sekian, yang lebih penting bisa mengambil hati petani untuk menjadi teman dan rekan kerja mereka. “Awalnya, setiap kali mengundang petani, kami kasi uang transport, tetapi sekarang setelah hati kita menyatu dengan para petani binaan, mereka yang mengundang dan memberikan uang transport kepada kami”, terang Dean.

“Yang penting, produktifitas untuk petani binaan MICRA bisa meningkat, khususnya di pulau Lombok. Syukur-syukur pemerintah daerah memotret kegiatan MICRA, karena setelah proyek kami selesai pemerintah bisa melanjutkannya”, katanya.

[Gus]

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA
    x
    x