x

Modernisasi Masjid Ditengah Kemiskinan Masyarakat Muslim Sasak

waktu baca 4 menit
Rabu, 12 Mar 2014 01:35 0 23 Redaksi

SEPERTI kita ketahui bersama bahwa, di era postmodernisme ini banyak perubahan-perubahan yang terjadi, baik perubahan secara sosial-politik, sosial-agama dan sosial budaya. Namun yang jarang tersentuh ada sosial-ekonomi, padahal keberadaan sosial ekonomi akan mampu mempengaruhi dimensi-dimensi kehidupan lainnya.

Perubahan sosial yang terjadi di Indonesia adalah perubahan sosial dalam bentuk Modernisasi. Suatu perubahan yang bergerak dari atas (top down) yang biasanya dilakukan oleh para penguasa atau jajaran elit yang sedang berkuasa. Perubahan yang terjadi adalah perubahan yang berawal dari keinginin pribadi sang penguasa bukan keinginan masyarakat akar rumput (grees root). Oleh karenanya, kerap kali perubahan itu tidak mampu diterima oleh masyarakat akar rumput yang notabenenya adalah masyarakat yang terbangun dari solidaritas mekanis yang sangat kuat.

Oleh karenya wajar kemudian angka kemiskinan masyarakat semakin hari semakin melonjak pada tahun 2012 dengan jumlah 20-30 juta orang yang masih tergolong miskin sesuai dengan pernyataan Presiden RI (Susilo Bambang Yodoyono) saat membuka Rapat koordinasi BUMN di Hotel The Rich Jogja, angka tersebut masih tergolong sangat tinggi. Prosentase kemiskinan nasional sampai tahun 2014 sebesar 10,5% sedangkan menurut  Salim Segaf Al Jufri (kemensos) angka kemiskinan di NTB pun tahun 2014 angka tersebut masih tergolong sangat tinggi. Pada tahun 2013 sekitar 100 ribu rumah tangga sangat miskin (RTSM) dibandingkan dengan tahun 2012 yang hanya 87 ribu RTSM. Fenomena yang demikian adalah bentuk dari ketidak mampuan masyarakat menerima dan beradaptasi dengan modernisasi.

Dibalik kemerosotan ekonomi yang demikian, menjadi ironis kemudian gedung-gedung masjid yang sangat megah, menara masjid pencakar langit tiada hentinya dibangun terutama di daerah NTB. Pembangunan Islamic center Lombok yang notabenenya memakan biaya yang relative tinggi. 350 miliar bahkan lebih dari 500 miliar yang estimasinya melalui pemotongan gaji PNS, swadaya masyarakat dan APBD NTB menjadi sarana financial dari pembangunan Islamic center tersebut. Tingginya biaya pembangunan itu sedikit tidak memberikan dampak ekonomis bagi masyarakat dalam arti, pengeluaran masyarakat menjadi bertambah serta pemasukan masyarakat menjadi sedikit terpotong. Bahkan tidak jarang gedung-gedung (sekolah, kantor, sentral perekonomian masyarakat)  yang ada disekitar bangunannya harus rela dirobohkan demi mencapai modernisasi masjid berdasarkan tuntutan zaman.

Keberadaan Islamic center mengandung pro dan kontra dikalangan masyarakat. Dari pihak pro beranggapan bahwa, keberadaan Islamic Center bisa mejadi post pemberdayaan masyarakat; salah satunya adalah dengan diadakannya program pendidikan, sosial, agama (wisata religi) untuk semua kalangan masyarakat. Dikalangan masyarakat yang kontra, keberadaan Islamic center telah banyak merugikan masyarakat oleh karena wilayahnya yang telah diambil dan menjadi donator dari pembangunan masjid tersebut.

Kuatnya komitmen Pemda NTB, menjadikan diresmikannya pembangunan Masjid IC yang menjadi bangunan utama (induk masjid) dari bangunan yang dihajatkan sebagai darul munasabah, yakni sebagai tempat semua elemen masyarakat, organisasi Islam, organisasi budaya berkumpul dan bermusyawarah. Islamic Center ini merupakan ikon NTB sebagai daerah religious, tetapi yang terpenting adalah manfaatannya bagi masyarakat. Karena itu perlu ikhtiar seluruh pihak untuk membangun IC,”ungkap Gubernur NTB. Namun apakah keberadaan Islamic Center selanjutnya akan menjamin kesejahteraan bagi masyarakat Lombok kedepannya? Jawabannya akan kita tunggu bersama ketikan pembangunan IC ini sudah selesai.

Tidak hanya pembangunan Islamic center, masjid-masjid lain yang notabenenya sedang dalam tahap pembangunan di Lombok pun semakinn marak terjadi. Seperti pembanguna masjid Nurul Iman Dusun Toro Desa Penujak, dan masjid Agung Praya Lombok Tengah. Semakin tingginya prospek pembangunan masjid di Lombok tidak kemudian diiringi dengan semakin meningkatnya religiousitas masyarakat. Sering sekali masjid hanya ramai dikunjungi ketika hari-hari besar Islam, diluar itu masjid selalu sepi dari para masyarakat Islam Sasak. Ini sangatlah paradoks dari apa yang menjadi tujuan pembanguna masjid tersebut.

Semangat masyarakat dalam membangun tempat periibadatan (masjid) sangat tinggi dan pertimbangan ekonomi masyarakat untuk pembangunan masjid tidak terlalu dipikirkan. Tingginya biaya yang harus dikeluarkan tidak menghalangi semangat masyarakat untuk tidak berpartisipasi dalam pembangunan masjid tersebut, padahal masih banyak kebutuhan mendasar keluarga yang belum terpenuhi seperti apa yang terjadi dalam masyarakat Dusun Toro. Pertanyaannya, apakah pembangunan itu berlangsung oleh karena dorongan atau etos religious yang tinggi dari masyarakat atau oleh karena semangat kapitalisme dari oknum-oknum yang berdrama didalamnya?  

(Penulis : Muhamad Fachrurrasyied Hilmy, Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan kalijaga Yogyakarta)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA
    x
    x