x

Puasa Memanusiakan Manusia

waktu baca 4 menit
Selasa, 30 Jun 2015 17:42 0 30 Redaksi

SETIAP orang Islam yang beriman senantiasa merindukan bulan Ramadhan. Kerinduannya melebihi kecintaannya terhadap orang yang paling dicintainya. Bagi orang beriman, di bulan yang penuh berkah inilah salah satu momentum yang sangat penting dan paling strategis untuk meningkatkan kualitas hidupnya, baik kualitas iman dan takwa maupun amal salehnya.

Allah swt. Maha Melihat, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang sangat memahami dan mengetahui akan kebutuhan manusia, termasuk kualitas hidup umat-Nya. Dalam menempuh perjalanan hidupnya, kualitas iman, takwa, dan amal saleh para hamba-Nya sering turun-naik, jarang stabil. Untuk menstabilkan kembali bahkan meningkatkan kualitas hidupnya itulah Allah swt. mewajibkan berpuasa di bulan Ramadan.

Secara bahasa, puasa ada yang mengartikan menahan atau berhenti. Dalam sejumlah buku fikih, puasa antara lain diartikan menahan dari makan, minum, dan segala sesuatu perbuatan yang dapat membatalkannya, puasa dilakukan sejak masuk waktu salat subuh hingga azan magrib.

Secara “teknis,” puasa (shaum) yang dilakukan selama bulan Ramadan, membuktikan bahwa ibadah ini sangat manusiawi. Puasa Ramadan dilaksanakan tidak semalam suntuk dan tanpa harus meninggalkan aktivitas rutinnya, seperti mencari nafkah, termasuk kebutuhan biologis. Sebelum memulai berpuasa, disunahkan makan sahur. Ketika berbuka disunahkan memulai memasukkan asupan makanan atau minuman yang manis. Dengan demikian, yang berpuasa tidak menzalimi tubuh atau fisiknya.

Bagi yang fisiknya tidak memungkinkan atau sejumlah alasan syar’i lainnya sehingga tidak dapat melaksanakan puasa, diberi alternatif keringanan (rukhsah), antara lain membayar fidiah (memberi makan fakir miskin) atau mengganti puasanya di luar bulan Ramadan. Bagaimanapun kondisinya, puasa wajib ditunaikan, dan tata caranya harus sesuai dengan petunjuk Allah swt. dan Nabi Muhammad saw. Ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya berpuasa itu.

Tradisi melaksanakan kewajiban puasa yang tujuan akhirnya untuk menjadi manusia beriman kepada Allah swt. dan Rasul-Nya bukan hanya dilakukan kaum muslimin, jauh sebelum risalah Islam yang dibawa Nabi Muhammad, kebiasaan melaksanakan ritual khusus itu pun juga telah dilakukan oleh umat-umat yang patuh terhadap Allah di bawah bimbingan para nabi dan Rasul-Nya. (Baca Q.S. Al Baqarah:183)

Meskipun tidak sampai 24 jam berpuasa-secara fisik-menahan diri dari makan dan minum serta berbagai hal yang dapat membatalkan atau mengurangi nilai dan kualitas ibadah puasa, bukan perkara yang mudah.

Selama puasa berlangsung, pada waktu-waktu tertentu muncul hawa nafsu untuk keluar dari rambu-rambu berpuasa, paling kecil ingin makan atau minum. Yang tidak tertahankan, biasanya adalah menahan nafsu amarah, menahan keserakahan, menahan egois, serta sifat dan perbuatan negatif atau destruktif lainnya. Ringkasnya, tantangan yang besar adalah melawan hawa nafsu yang bersumber dari perilaku hewani dan setan.

Menahan dari hal-hal yang membatalkan (secara fikih) maupun memengaruhi kualitas puasa-karena meninggalkan akhlak berpuasa-merupakan salah satu bentuk perjuangan yang hebat (jihad). Menahan diri dari berbagai hal yang dibenci Allah dan Rasulullah tersebut, bukan perkara yang mudah, perlu kesabaran dan keuletan tersendiri.
Berpuasa di bulan Ramadhan tidak sekadar menghindari hal-hal yang membatalkan, lebih dari itu juga dituntut untuk peduli terhadap sesama manusia, baik sesama umat Islam, nonmuslim, lingkungan sekitar, bahkan alam raya (rahmatan lil’alamin). Allah tidak menghendaki pelaku puasa hanya sukses kesalehan sosial secara vertikal, kesalehan sosial pun (horizontal) harus dibangun. Tidak seimbangnya kesalehan, membuat hidup tidak seimbang, tidak selaras dan tidak pula sesuai sifat mulianya manusia yang beriman.

Untuk terus mengasah sekaligus meningatkan kualitas kesalehan individual dan sosial, diperlukan melakukan ritual-ritual yang eksklusif, seperti berzikir, lebih cinta salat berjamaah, melakukan salat-salat sunah, spesial salat malam (tahajud), iktikaf di masjid-bukan di pasar, tadarus Alquran, serta aksi sosial lainnya, misalnya menunaikan zakat, memperbanyak infak dan sedekah.

Dalam kondisi berpuasa dengan melakukan berbagai amalan atau ritual-ritual eksklusif dan aksi sosial, yang dilakukan ikhlas semata-mata karena Allah, tidak ada pamrih, dan ikhlas pula meninggalkan sifat dan perilaku hewan dan setan, seperti angkuh, sombong, kasar, suka menghina, mengumpat, menghujat, provokator, pemarah, “menjajah orang,” iri dengki dan lain sebagainya, insya Allah akan melahirkan sikap dan perilaku terpuji yang dikehendaki Allah dan Rasulullah.

Berpuasa yang dilandasi dengan penuh keimanan kepada Allah, Rasulullah, dan percaya pada hari akhir, semestinya memunculkan manusia-manusia yang imannya tinggi, ibarat kendaraan baru diservis habis. Puasa dengan landasan iman dan takwa dapat menciptakan manusia pilihan karena sifat dan perilakunya sehat secara spiritual (suci) maupun sehat secara jasmani. “Dan beruntunglah orang yang menyucikan diri (dengan puasa dan zakat), dan menyebut Tuhannya (dengan bertakbir, lalu mengerjakan salat,” (QS. Al-A’laa: 14-15).

Secara fitrahnya, puasa Ramadan mencetak manusia bertakwa dengan berbagai sifat dan sikap perilaku positifnya, antara lain bersiap jujur, adil, rendah hati, berpikir positif, berpihak kepada kebenaran, menempati janji, pandai menyukuri nikmat, menghargai orang lain, simpati dan empati terhadap sesama, pejuang kaum lemah (miskin), serta mengharapkan hidup penuh limpahan keberkahan. Iman dan takwa adalah bekal terbaik atau sebaik-baik bekal hidup manusia baik ketika di dunia apalagi di akhirat kelak (surga), sebaik-baik tempat kembali yang abadi. Wallahualam bissawab.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA
    x
    x