Penulis : Sarjono, Lombok Utara
SETIAP aktifitas manusia selalu menghasilkan sampah dan jumlahnya sejajar dengan besarnya aktifitas manusia. Padahal setiap manusia selalu beraktifitas sebagai upaya untuk peningkatan dan mempertahankan hidup. Sampah merupakan barang dan pengelolaannya kian menjadi masalah mendesak NTB, termasuk Lombok Utara.
Hingga kini masih banyak warga Lombok Utara memperlakukan sampah dengan dibuang begitu saja. Sebagian dari mereka belum memikirkan efek buruk sampah bagi kehidupan dan lingkungan sekitar, dan ada sebagian lainnya belum menjadikan pemilahan sampah kering dan sampah basah sebagai suatu kebiasaan.
Pemerintah Lombok Utara dalam konteks ini, harus memulai menginisiasi aksi dan gerakan kolektif mengajak masyarakat memilah sampah dengan memasang kotak sampah berbeda warna di berbagai sudut jalan di sepanjang zona Kabupaten Lombok Utara. Kampanye kolosal pemilahan sampah juga niscaya mulai digagas dan dilaksanakan di tiap-tiap kecamatan, dan bahkan hingga ke desa-desa.
Di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jugil menerima puluhan ton sampah per hari. Sekian persen dari jumlah tersebut di antaranya adalah sampah plastik yang tak bisa terurai alam. Jika tak lekas menggunakan teknologi pengelolaan sampah, maka hampir bisa dipastikan dalam 4-5 tahun mendatang, TPA Jugil tak lagi mampu menampung sampah.
Kondisi ini kemudian membuat kita prihatin sehingga perlu berupaya keras untuk segera mencari jalan keluar atas problem sampah dengan mengubah pola pikir dan cara pandang warga terhadap sampah itu sendiri.
Tingginya volume sampah yang ada di TPA Jugil saat ini memerlukan adanya program pengolahan sampah secara mandiri oleh warga atau komunitas warga, dan juga perlu metode-metode lain yang harus diterapkan agar pelaksanaannya dapat dilakukan secara menyeluruh.
Sebagian besar warga Lombok Utara terutama mereka yang bermukim di wilayah pedesaan hingga kini belum melaksanakan pengolahan sampah secara mandiri. Masih banyak yang membuang sampah di sembarang tempat, misalnya di sungai, di bantaran sungai, di pinggiran kampung, bahkan ada pula yang membuang sampah di pinggir-pinggir jalan, dan di area-are lainnya yang sebetulnya dilarang.
Mengatasi problema sampah tersebut, niscaya untuk dicita-citakan adalah bagaimana jumlah sampah yang berton-ton per hari itu tak lagi dikirim ke TPA Jugil, tapi direduksi dan diolah di wilayah sumber sampah itu sendiri. Sehingga, di kemudian hari tak terdengar lagi munculnya fenomena penumpukan sampah di TPA yang melebihi daya tampung sehingga sampah meluber ke area sekitarnya, selain tercemarnya air tanah oleh air lindi (air sampah).
Mewujudkan proyeksi cita-cita di atas, diperlukan langkah-langkah nyata yang dapat diterapkan di lapangan, antara lain.
Pertama, menciptakan lingkungan terkecil, yaitu keluarga agar bijak dalam penanganan sampah dengan memulai menerapkan pengolahan sampah mandiri.
Kedua, berperilaku sehat, dengan meminimalisir sumber sampah, sehingga dalam setiap aktifitas tidak menghasilkan sampah.
Ketiga, menularkan program pengolahan sampah mandiri yang dipraktekkan oleh keluarga bersangkutan ke lingkungan yang lebih besar yaitu lingkungan RT. Mengajak seluruh warga RT untuk mengubah pola pikir dan cara pandang terhadap sampah dengan contoh-contoh yang dilaksanakan di dalam lingkungan keluarga.
Keempat, penularan program pengolahan sampah mandiri mesti melibatkan pengurus RT, sehingga program pengolahan sampah ini menjadi program RT yang kemudian harus dilaksanakan oleh seluruh warga RT bersangkutan.
Kelima, sosialisasi melalui Kepala Dusun, dengan membimbing teknis kepada para pengurus RT untuk melaksanakan prngolahan sampah mandiri. Keenam, mereduksi sampah di sumbernya yaitu di tingkat rumah tangga dengan alat komposter aerob dan ditingkat dusun dengan mendirikan rumah kompos. Selain itu, perlu ditetapkan upaya-upaya pencapaian program secara terukur dan terorganisir dengan baik.
Adapun upaya-upaya dilaksanakan untuk pencapaian program, antara lain. Pertama, melaksanakan program pengolahan sampah secara mandiri di keluarga. Kedua, memberikan contoh yang ada di keluarga bersangkutan untuk disosialisasikan ke warga RT. Ketiga, menjadikan program Pengurus RT dan Kepala Dusun untuk memudahkan sosialisasi warga dusun. Keempat, merekrut anak-anak untuk menjadi DBS (Detektif Buang Sampah), dengan tujuan untuk menanamkan sejak dini perilaku dan pola hidup sehat kepada anak-anak. Kelima, mendirikan rumah kompos (bale kompos), dengan tujuan mereduksi sampah di tempatnya sehingga sampah tidak keluar dari zonasinya.
Hasil akhir dari proyeksi cita-cita sebagaimana diulas di atas yaitu tumbuhnya komitmen bersama untuk melahirkan keinginan yang kuat, bahwa suatu ketika tak ada lagi TPA-TPA Jugil lagi, lantaran sampah 0 % direduksi di sumbernya yaitu wilayah terkecil: Keluarga, Wilayah RT dan Wilayah Dusun. SEMOGA.